Rabu, 20 April 2016

Kepuasan Kerja ( Job Satisfaction )



1.    Pengertian Kepuasan Kerja
Menurut Hasibuan (2007) Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Kepuasan kerja (job statisfaction) karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan, dan kedisiplinan karyawan meningkat. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Kepuasan kerja dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan suasana lingkungan kerja yang baik. Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan akan lebih mengutamakan pekerjaannya daripada balas jasa walaupun balas jasa itu penting.
Robbins and Judge (2009) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan positive tentang pekerjaan  sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut. Senada dengan itu, Noe, et. all (2006) mendefinisikan kepuasan kerja  sebagai perasaan yang menyenangkan sebagai hasil dari persepsi  bahwa pekerjaannya  memenuhi nilai-nilai pekerjaan yang penting. Selanjutnya Kinicki and Kreitner (2005) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai respon sikap atau emosi terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang.  Definisi ini memberi arti bahwa kepuasan kerja bukan suatu konsep tunggal. Lebih dari itu seseorang dapat secara relative dipuaskan  dengan satu aspek pekerjaannya dan dibuat tidak puas dengan satu atau  berbagai aspek. Dalam pandangan yang hampir sama, Nelson  and Quick (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu kondisi emosional yang positif dan menyenangkan  sebagai hasil dari  penilaian pekerjan atau pengalaman pekerjaan seseorang.

2.    Respon terhadap ketidakpuasan kerja
  Dalam suatu organisasi ketidakpuasan kerja dapat ditunjukan melalui berbagai cara, Robins and Judge (2009)   menerangkan ada 4 respon yang berbeda satu sama lain dalam 2 dimensi yaitu konstruktif/destruktif dan aktif/pasif, dengan penjelasan sebagai berikut :
1)     Exit , Ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku diarahkan pada meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan diri.
2)    Voice , Ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki keadaan, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan berbagai bentuk aktivitas perserikatan.
3)     Loyalty , Ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi optimistik dengan menunggu kondisi untuk memperbaiki, terma­suk dengan berbicara bagi organisasi dihadapan kritik eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemen melakukan hal yang benar.
4)      Neglect,  Ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan secara pasif membiarkan kondisi semakin buruk, termasuk kemangkiran atau keterlambatan secara kronis, mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat kesalahan.

3.    Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepuasan Kerja
Menurut Hasibuan (2007) kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor-faktor:
1)  Balas jasa yang adil dan layak.
2)  Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian.
3)  Berat ringannya pekerjaan.
4)  Suasana dan lingkungan pekerjaan.
5)  Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan.
6)  Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya.
7)  Sifat pekerjaan monoton atau tidak.
Kepuasan kerja karyawan banyak dipengaruhi oleh sikap pimpinan dalam kepemimpinan. Kepemimpinan partisipasi memberikan kepuasan kerja bagi karyawan, karena karyawan ikut aktif dalam memberikan pendapatnya untuk menentukan kebijaksanan perusahaan. Kepemimpinan otoriter mengakibatkan ketidakpuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja karyawan merupakan kunci  pendorong moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja karyawan dalam mendukung terwujudnya tujuan perusahaan.
Menurut Robbins dan Judge (2009) ada 21 faktor yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu otonomi dan kebebasan, karir benefit, kesempatan untuk maju, kesempatan pengembangan karir, kompensasi/gaji, komunikasi antara karyawan dan manajemen, kontribusi pekerjaan terhadap sasaran organisasi,  perasaan aman di lingkungan kerja, kefleksibelan untuk menyeimbangkan  kehidupan dan  persoalan kerja,  keamanan pekerjaan, training spesifik pekerjaan, pengakuan manajemen terhadap kinerja karyawan,  keberartian pekerjaan, jejaring, kesempatan untuk menggunakan kemampuan atau keahlian, komitmen organisasi untuk pengembangan, budaya perusahaan secara keseluruhan,  hubungan sesama karyawan, hubungan dengan atasan langsung,  pekerjaan itu sendiri,  keberagaman pekerjaan.
Luthans (2005) menyatakan bahwa ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Hal-hal utama dengan mengingat dimensi-dimensi paling penting yaitu gaji, pekerjaan itu sendiri, promosi, pengawasan, kelompok kerja dan kondisi kerjaSelanjutnya Nelson and Quick   (2006) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi 5 dimensi  spesifik dari pekerjaan yaitu gaji, pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, supervisi dan rekan kerja.
Byars and Rue (2005), menyatakan bahwa  sistem reward organisasi  sering mempunyai dampak signifikan pada tingkat kepuasan kerja karyawan.  Disamping dampak langsung,  cara reward extrinsik  diberikan dapat mempengaruhi  reward intrinsik  (dan kepuasan)  dari penerima. Sebagai contoh jika  tiap orang menerima peningkatan gaji 5 persen  adalah sulit untuk  mendapatkan penyelesaian reward. Namun demikian jika kenaikan gaji dikaitkan langsung dengan kinerja,  seorang karyawan yang menerima  peningkatan gaji yang besar akan lebih mungkin mengalami perasaan penyelesaian dan kepuasan. Ada lima  komponen utama  kepuasan kerja yaitu:
1)  Sikap terhadap kelompok kerja
2)  Kondisi umum pekerjaan
3)  Sikap terhadap perusahaan
4)  Keuntungan secara ekonomi
5)  Sikap terhadap manajemen
Komponen lain mencakup  kondisi pikiran karyawan tentang pekerjaan itu sendiri  dan kehidupan secara umum. Sikap seorang karyawan terhadap pekerjaan mungkin positif atau negative. Kesehatan, usia, tingkat aspirasi,  status sosial,  kegiatan sosial dan politik  dapat mempengaruhi kepuasan kerja.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan  yaitu:

1)    Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan). Model ini mengajukan bahwa kepuasan ditentukan  tingkatan karakteristik pekerjaan yang  memungkinkan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
2)   Discrepancies (perbedaan). Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya  diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat diatas harapan.
3)      Value attainment (pencapaian nilai). Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan meru­pakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan peme­nuhan nilai kerja individual yang penting.
4)      Equity (keadilan). Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan meru­pakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya.
5)   Dispositional/genetic components (komponen genetik).  Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model menyiratkan perbedaan indi­vidu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.


4. Model-model Tekanan Kerja

Model berguna untuk menjelaskan fenomena. Model terdiri ada sejumlah teori yang menjelaskan fenomena yang sama. Ketika masing-masing teori memiliki kemiripan satu sama lain, kelompok teori tersebut dianggap sebagai satu model. Model berfungsi menyederhanakan masalah yang rumit. Dalam hal konsep job stress yang telah berkembang cukup kompleks, model menemui signifikansinya.

Model-model yang umum digunakan dalam membedah masalah job stress adalah: (1) Model Awam; (2) Model Respon; (3) Model Stimulus; (4) Model Interaktif.[6]

Model Awam – Model awam menyebut job stress sekadar sebagai “apa yang terjadi pada seseorang.” Persepsi ini muncul dari para pekerja, kolega kerja, staff, pelanggan, atau klien. Definisi stress versi awam membawa pada kesalahan pikir, penyalahgunaan, dan mencederai kepercayaan diri seseorang. Ciri dari Model Awam adalah sebagai berikut:
1.      Banyak kata atau kalimat diekspresikan dalam bentuk negatif. Akibatnya, stress selalu dipandang buruk dan tidak diinginkan. Misalnya kata-kata : ‘depresi’, ‘lepas kontrol’, ‘pusing’, ‘dikejar waktu’, ‘diserang panik’, ‘gelisah’, ‘tidak bisa tidur’, atau ‘menangis’ kerap muncul dari kalangan awam dalam melukiskan kondisi stress seseorang. Stress dihadirkan secara pesimistik, yaitu masalah seseorang yang seolah tidak bisa diatasi.
2.      Definisi awam lebih mengarah pada simptom atau gejala stress ketimbang core atau inti dari stress itu sendiri. Model awam menyebut stress sebagai ‘kegelisahan’, ‘depresi,’ atau ‘diserang rasa panik’, yang semuanya merupakan simptom atau gejala stress dan bukan stress itu sendiri.
3.      Model awam jarang menyebut stressor (penekan) atau stress agent (penyebab stress) untuk menjelaskan sumber stress seperti kerja berlebihan atau dikejar deadline penyelesaian tuga. Keduanya adalah stressor umum di lokasi pekerjaan.

Kendati banyak kekurangan di sana-sini, model awam mendorong pada terciptanya model stress yang lebih sistematis yaitu : Response-Based Model of Job Stress dan Stimulus-Based Model of Job Stress.

Model Respon – Model Respon berupaya mencari situasi yang mampu menyebabkan stress. Stress adalah hasil, bukan penyebab itu sendiri, sehingga harus dianggap sebagai variabel terikat. Skema dari model respon adalah sebagai berikut :



Gambar 28 Model Respon versi Sutherland and Cooper

Model respon menekankan pada bagaimana manusia melakukan respon atas stress yang muncul. Respon tersebut dilakukan melalui tiga mekanisme, yang terdiri atas mekaisme: (1) Psikologis; (2) Fisiologis; dan (3) Perilaku. Ketiga mekanisme ini berinteraksi satu sama lain dalam merespon stress. Model respon juga memetakan proses terjadinya stress yaitu:
1.      Alarm Reaction. Fase ini merupakan fase awal dimana satu individu mulai mengenali gejala stress. Ketika satu individu berada pasa posisi mental dan fisiologis prima, ia segera melawan gejala stress dan langsung mengeliminasinya.
2.      Resistance (perlawanan). Fase ini merupakan tahap adaptasi maksimal atas gejala stress. Idealnya, individu segera dapat kembali pada keseimbangan mental sebelum dilanda stress pada fase ini. Namun, jika stress terus berlanjut atau mekanisme pertahanan dirinya tidak bekerja, seseorang akan memasuki fase ketiga.
3.      Kelelahan. Fase ini adalah situasi di mana satu individu berada dalam kondisi stress. Kondisi ini terjadi tatkala mekanisme adaptif dalam individu yang mampu melawan stress mengalami kolaps.

Model respon dirintis oleh Hans Selye tahun 1936, di mana ia memperkenalkan konsep stress-related illness (penyakit yang berhubungan dengan stress). Selye menyatakan bahwa “stress adalah respon non-spesifik tubuh atas tuntutan yang menimpa dirinya ... dan setiap pasien apapun penyakitnya tetap akan terkesan selalu merasa sakit.” Selye menyatakan hal tersebut pada tahun 1930-an dimana dunia tengah dilanda resesi ekonomi (malaise) yang berakibat pada hilangnya motivasi, selera, berat badan, dan kekuatan pada diri banyak orang.

Model Stimulus – Kajian yang dilakukan model ini sudah dimulai sejak era Hippocrates (abad ke-5 sebelum Masehi). Hippocrates percaya bahwa kondisi lingkungan eksternal mempengaruhi kesehatan dan penyakit yang diderita manusia. Model ini juga punya akar dalam studi fisika dan rekayasa, sehingga menganalogikan stress sebagai kekuatan eksternal yang menghasilkan tuntutan yang mendorong distorsi (penyimpangan) fungsi fisik dan mental seseorang. Substansi organik atau non organik dalam diri manusia punya batas toleransi yang jika berlebih, menghasilkan kerusakan temporer atau permanen, seperti diperlihatkan dalam gambar di bawah ini:


Gambar 29 Model Stimulus

Dalam model di atas, individu “dibombardir” oleh rangkaian stimulus yang berasal dari lingkungan, tetapi hanya satu atau lebih stimulus yang mampu melemahkan pertahanan (respon) dari individu. Stressor yang tidak bisa diatasi oleh mekanisme pertahanan mental individu berhasil masuk dan berubah menjadi “strain” atau ketegangan.

Model Interaktif – Tahun 1970-an dan 1980-an berkembang model lingkungan dalam mengidentifikasi masalah stress. Model ini berupaya menyelidiki stressor eksternal dan bagaimana tubuh manusia meresponnya. Model ini juga menekankan pentingnya dimensi transaksional ataupun interaksionis. Model ini dapat dilihat dalam skema di bawah ini :


Gambar 30 Interactive Models of Job Stress versi Sutherland and Cooper

Model interaktif bersifat menggabungkan model respon dengan model stimulus, yang melahirkan konsep cognitive appraisal (penilaian kognitif) yang berperan dalam menilai bagaimana satu individu menanggapi stress.

Model interaktif juga menganggap sumber stress muncul dari kondisi dan situasi kerja yang diperantarai persepsi, penilaian, dan pengalaman. Penentu proses penilaian dan reaksi individu dideskripsikan sebagai pemrograman psikobiologis. Pemrograman ini meliputi faktor-faktor genetik dan pengaruh lingkungan sebelumnya yang membentuk kepribadian, sikap, kebiasaan, dan nilai-nilai di diri seseorang. Sebagai tambahan, proses ini juga dimodifikasi lewat sejumlah variabel seperti dukungan sosial dan strategi penanganan stress yang dipelajari sebelumnya oleh individu. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar